MAMENDO - Ali Moertopo adalah seorang pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang memiliki peranan penting pada masa-masa awal Orde Baru di Indonesia. Ia pernah menjabat Menteri Penerangan Indonesia (1978-1983), Deputi Kepala (1969-1974), dan Wakil Kepala (1974-1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara. Ali Moertopo berperan besar dalam melakukan modernisasi intelijen Indonesia. Ia terlibat dalam operasi-operasi intelijen dengan nama Operasi Khusus (Opsus) yang terutama ditujukan untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto.
Pada 1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan. Hal itu kemudian terwujud pada 1973 ketika semua partai melebur menjadi tiga partai, Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis). Pada 1971, bersama Soedjono Hoemardhani, ia merintis pendirian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan. Pada tahun 1972, ia menerbitkan hasil tulisannya yang berjudul “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” yang selanjutnya dijadikan MPR sebagai strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP).
Pada tahun 1961, dialah yang memimpin
Komando Operasi Khusus (Opsus) Irian Barat. Pada awal Orde Baru (1966),
Kolonel Ali Moertopo aktif berperan dalam upaya menyelesaikan
konfrontasi dengan Malaysia, antara lain bersama Kepala Staf Kostrad
Brigadir Jenderal Kemal Idris, dan Asisten I Kopur Kostrad Mayor L.B.
Moerdani sebagai perwira penghubung. Semuanya di bawah Pangkostrad Mayor
Jenderal Soeharto.
Nama Opsus kemudian melembaga dan seakan
menjadi cap dari segala kegiatan operasi inteligen, tak hanya di bidang
militer, tapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. Nama Itu
begitu disegani tapi juga dibenci, tak disenangi karena dianggap sebagai
“suatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendaknya”. Itu sebabnya,
sementara pihak berpendapat, keberhasilan Ali Moertopo terutama
disebabkan faktor kekuasaan yang dipegangnya, dan kedudukannya sebagai
pembantu utama Presiden di bidang politik, di samping sebagai perwira
tinggi inteligen yang amat berpengaruh.
Tugas Opsus adalah menyelesaikan segala sesuatu dengan cara mendobrak dan merekayasa sifatnya dalam waktu yang pendek lagi cepat. Misalnya tentang PWI. Kalau PWI waktu itu orientasinya masih ke Bung Karno, maka kita ubah pimpinannya. Seperti itu urusan Ali Moertopo.
Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan
Angkatan Darat khususnya sejak awal menyadari mengenai kemungkinan
naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI–yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran
PKI—secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam sehingga
terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang
mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal
disadari oleh Angtakan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih
terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial.
Pada tahun 1970 Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo telah ‘digarap’ atau dibajak oleh J Naro, ‘diotaki’ oleh Ali Moertopo.
Kemudian pada tahun 1971 PSII di bawah pimpinan M Ch Ibrahim ‘digarap’ oleh Drs Syarifudin Harahap, juga diotaki oleh Ali Moertopo. Perihal pembajakan ini dimasukkan dalam berita TVRI, yaitu media massa resmi pemerintah Indonesia. (Bincang-bincang dengan Dahlan Ranuwihardjo).
Selanjutnya pada Peristiwa 15 Januari (Malari) 1974, Ali Moertopo menuduh dan memfitnah umat Islam. Dikatakan bahwa eks PSI dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut.
Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Hariman Siregar diadili, tidak ada sedikit pun fakta dan tak Seorang pun eks Masyumi terlibat di situ.
Belakangan, ada pengakuan dari mendiang Jenderal Soemitro dalam buku Heru Cahyono, ‘Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari’, bahwa justru Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi Peristiwa Malari.
Kemudian dalam sidang pengadilan Ismail Pranoto di Jawa Timur pada 1978, yang dituduh membentuk Komando Jihad, terbukti yang terungkap di pengadilan bahwa kegiatan Ismail Pranoto adalah atas perintah dan biaya Ali Moertopo dalam rangka membentuk Front Pancasila Anti Komunis.
Dengan terungkapnya masalah ini tim pembela meminta kepada majelis Hakim untuk menghadirkan Ali Moertopo sebagai saksi. Tetapi majelis hakim menolaknya, sehingga Ismail Pranoto dijatuhi hukuman seumur hidup.
Dengan peristiwa ini, jelas bahwa Ali Moertopo telah menjebak Ismail Pranoto (bekas DI/TII) untuk kemudian dihancurkan.
Aksi Ali Moertopo berikutnya adalah pada Peristiwa Lapangan Banteng, 1982. Ali yang ketika itu menjadi Menteri Penerangan dalam briefingnya di hadapan pimpinan teras Departemen Penerangan dua hari setelah kejadian telah menuduh dan memfitnah umat Islam yang lagi-lagi disebut ekstrem kanan.
Ali Moertopo menuduh KH Yusuf Hasyim dari PPP dan Ali Sadikin dari Petisi 50 berada di balik peristiwa rusuh di Lapangan Banteng saat kampanye Golkar berlangsung menjelang pemilu 1982 itu.
Tetapi setelah pengadilan memeriksa para terdakwa yang dituduh terlibat peristiwa Lapangan Banteng terbukti tidak ada satu pun anggota PPP ataupetisi 50 yang terlibat, bahkan menjadi saksi pun tidak.